APA SEBENARNYA NIAT MALIN KUNDANG PULANG KAMPUNG?

MALIN KUNDANG ITU DURHAKA, TAPI KENAPA MASIH PULANG KAMPUNG?
Oleh : Ajo Wayoik

Legenda malin kundang meninggalkan banyak pertanyaan sekaligus bibit pemikiran di kepala penulis. Anak durhaka yang terkenal sepanjang masa ini dikisahkan dengan cerita yang bagian-bagiannya justru terasa janggal. Tapi disinilah titik awal penulis menemukan pesan-pesan luar biasa di balik legenda satu ini. Dalam beberapa tulisan akan penulis urai pandangan pribadi tentang kejanggalan-kejanggalan yang justru memuat pesan tersebut. Tentunya karena penulis yakin bahwa di Minang, legenda bukan sekedar legenda, melainkan ada pesan tersirat di balik konstruksi dramatiknya.

Kali ini kejanggalan yang ingin penulis urai adalah motivasi Malin Kundang pulang kampung. Sudah terang dalam legenda dikisahkan bahwa ia lupa akan ibunya. Tapi pertanyaannya, jika kepada ibunya ia lupa, kenapa ia tidak sekalian melupakan niat untuk pulang? Sebegitu pentingkah balik ke tanah kelahiran?

Ada dua hal tentang motivasi ini yang sempat terlintas di benak saya. Yang pertama adalah bahwa mungkin saja Malin Kundang ingin membuktikan kesuksesannya kepada orang kampungnya. Adalah hal yang jamak ditemui, seseorang merantau karena ingin mengubah hidup. Tidak sekedar untuk mengecap kelayakan seperti yang dirasakan orang lain, tapi sebagian keinginan itu tumbuh karena adanya tekanan sosial semisal cemoohan orang kampung atas kondisi ekonominya yang memprihatinkan. Cemoohan itu mungkin pernah pula didengar oleh Malin Kundang, makanya ia tega meninggalkan ibunya yang tua untuk merantau ke negeri orang. Dengan dendam yang tersemat di hati, ia mencoba membangun diri dengan bekerja pada orang lain, lalu lambat laun dipercaya untuk jabatan penting sehingga hidup dalam kemakmuran. Begitu ia rasa “modal” untuk membalas cemoohan tadi sudah cukup, ia balik ke kampung halaman dan dengan pongah memamerkan kekayaan yang diperolehnya.

Kedua, mungkin nenek moyang kita menyiapkan legenda ini untuk memperingatkan para perantau agar tidak pulang dengan membawa pengaruh negatif dari perantauan. Ya, dunia bisa bikin silau. Kekayaan yang dipamerkan Malin Kundang di kampungnya bisa jadi merupakan simbol kapitalisme. Kapitalisme adalah sebuah faham yang mengagungkan ke-berharta-an, kapital! Faham ini telah nyata menyingkirkan nilai-nilai lokal yang secara tradisional dianut masyarakat kampung di berbagai belahan manapun di dunia. Karena kapitalisme membabi buta lah makanya kehormatan seseorang hari ini tidak lagi di pandang dari persoalan budi pekerti, ilmu pengetahuannya atau kesolehannya tetapi sebanyak apa hartanya.

Ketiga, terkait dengan kapitalisme yang sudah hinggap di kepala Malin Kundang, mungkin ia pulang sebagai agen dari invisible hand yang lebih besar; entah itu seseorang, sebuah faham, atau semisal kepentingan sebuah korporasi pada zamannya. Ia balik untuk mencengkeramkan kepentingan eksploitasi invisible hand tadi. Ingat, dalam cerita Malin Kundang, ia konon berinduk semang pada orang di perantauannya, sampai-sampai mempersunting anak si Induk Semang. Nah, Induk Semang itulah invisible hand tadi.

Budaya Minang membuat lahan sebagai tempat menyimpan kekayaan alam terlindungi dari cengkeraman
kapitalisme. Begitu sulit tanah Minang di eksploitasi sejak dulunya. Buktinya di Minangkabau (ketika penjajahan dulu), Belanda tidak berhasil menerapkan sistem tanam paksa. Atau jika belanda tidak berniat untuk itu, bisa jadi penyebabnya adalah karena mereka telah mempelajari bahwa adat Miang terkait lahan begitu kukuh dan akan menyulitkan mereka sendiri. Misalnya, jika tanam paksa diterapkan dengan pendekatan kekerasan, siapa yang akan dikerasi? Jika niniak mamak yang akan dikerasi, maka itu akan jadi pekerjaan yang luar biasa merepotkan. Niniak mamak itu banyak. Jika yang satu bisa diancam, bagaimana dengan yang lain? Begitu juga bila belanda ingin menyogok. Bila satu disogok, ada banyak yang lain yang harus diperlakukan sama, sehingga modal untuk soogok menyogok jadi luar biasa besar.
Lalu bagaimana lahan dapat dikuasai? Nah, legenda Malin Kundang memperingatkan kita betapa anak negeri ini bisa silau pula terhadap harta. 

Begitu otaknya Malin Kundang telah dicekoki kapitalisme, ia akan memandang kampungnya sebagai lahan eksploitasi untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan kearifan lokal terkait hak-hak anak kemenakan.

 Dengan demikian Malin Kundang mudah disusupkan ke negerinya sendiri oleh si invisible hand. Ia tak mau mengakui ibunya yang menurutnya kampungan dan buruk. Seperti juga daerah-daerah yang masih mempertahankan budaya tradisional dimata para kapitalis rakus; kampungan, buruk dan tak layak diakui. Minang versus Minang terjadi manakala anak Minang sendiri melawan amanah adat untuk menjaga lahan demi keberlangsungan kehidupan para penerus dan malah menganggap adat seperti itu kuno. Salah seorang guru penulis pernah mengatakan; tanah pusako tinggi sama sekali bukan milik mutlak generasi hari ini, tapi titipan generasi masa depan. Makanya tanah harus dijaga dan dirawat, agar pemanfaatannya bisa berkelanjutan. Jika dieksploitasi gila-gilaan, lalu apa lagi yang tertinggal untuk masa depan?



Jikok ado nan salah dalam tulisan ko, ka Allah SWT ambo minta ampun, ka urang banyak ambo minta maaf. Wassalam.
Lubuak Aluang, 2019     


Comments