Membangun Nagari dengan Strategi Branding
Membangun Nagari dengan Strategi Branding
Hari ini orang sudha mulai memikir ulang tentang branding; sesuatu yang sebenarnya sudah sangat lama dilakukan manusia untuk menandai tempat, produk, diri, perusahaan dan lain sebagainya. Kenapa branding saya sebut sebagai sesuatu yang sudah sangat lama? Karena agama-agama , faham-faham, hingga kerajaan-kerajaan kuno telah melakukannya sejak dulu. Contohnya saja Islam, meski ka'bah tak sebetik pun dalam ayat atau hadits disebut sebagai perlambang Islam, tapi tetap saja bila melihat gambar ka'bah (entah foto, siluet, lukisan, ukiran atau logo) orang akan mengingat agama yang diperjuangkan oleh Muhammad SAW ini.
Dalam sebuah brand ada semangat, citra, filosofi dan keunggulan yang terangkum menjadi satu perupaan. Banyak artikel yang mengangkat tentang keberhasilan Nike, Adidas dan berbagai merk dagang besar lainnya dari strategi branding mereka. BRanding seakan menjadi nyawa dari upaya membesarkan sesuatu yang memang potensial untuk dibesarkan.
Pemaknaan branding juga semakin meluas dari waktu ke waktu. Bukan hanya soal perupaan, tapi hari ini mencakup semua upaya untuk membuat orang ingat akan citra. Branding sekarang bukan cuma soal a logo tetapi juga soal iven, landmark, lagu atau apa saja yang mungkin menjadi wadah memaparkan identitas.
Nah, sekarang kita bicara soal nagari. Ditengah hiruk pikuk pembangunan, branding sepertinya menjadi suatu hal yang kerap terlupakan di nagari-nagari di Sumbar. Buktinya, belum banyak nagari yang punya logo sendiri. Belum banyak pula nagari yang menggarap sebuah iven secara serius sebagai sebuah ajang untuk memperkuat iconnya. Jangan tanya apakah sudah ada nagari yang punya hymne dan mars, apalagi landmark yang dapat diingat siapa saja yang lewat.
Sementara, setiap nagari akan terus dituntut untuk memperlihatkan keunggulannya secara lebih mencolok. Ada potensi yang harus ditunjukkan entah untuk tujuan kepariwisataan, pembangunan jejaring ekonomi, investasi dan lain sebagainya. Artinya, branding jadi hal vital yang sebenarnya sudah disadari tapi belum dieksekusi.
Suatu ketika saya dan komunitas Forum Batajau Seni Piaman untuk menyelenggarakan iven di Nagari Balah Hilia Lubuk Alung. Pemerintah Nagari dan para pemuda ketika itu sangat serius untuk menciptakan wahana kebersamaan seluruh masyarakat yang juga dapat menarik perhatian banyak pihak untuk datang ke Balah Hilia. Salah satu penyebabnya adalah karena nagari ini berusia relatif sangat muda. Perlu ada upaya untuk menggerek eksistensi nagari secara serius. Pekerjaan berat memang, tapi sangat menantang.
Keinginan itu awalnya diungkapkan oleh Seknag Hidayat dan Walikorong Jambak Ari. Semangat kedua orang ini membuat pikiran saya terbawa pada suatu pola branding. Saya sadar bahwa sebenarnya kesadaran membranding Balah Hilia sudah ada sejak awal, karena nagari pihak nagari sudah menentapkan penamaan Balah Hilia dikembalikan pada logat asli Piaman, setelah sebelumnya sejak era suharto dinamai Balah Hilir. Penamaan ini "membunuh" kekuatan lokalitas dialek asli. Makanya dengan tanpa disadari, pengembalian nama Balah Hilia ke nama aslinya adalah sebuah strategi branding, karena dialek pada nama adalah pembawaan identitas bahasa suatu daerah.
Membranding Balah Hilia perlu strategi. Saya mulai dari riset tentang apa yang menjadi keunggulan Balah Hilia.Nagari Balah sebenarnya sangat strategis, karena posisinya berada di persimpangan yang menghubungkan Padang, Bukittinggi dan Pariaman Kota. Posisi seperti ini patut menjadi pertimbangan untuk menjadikan Balah Hilia sebagai lokasi berusaha.
Balah Hilia juga punya potensi pertanian dan perikanan yang mencolok berkat ketertataan irigasi dan kebersediaan masyarakat untuk setia pada profesi sebagai petani. Dan seperti juga kawasan lain di Sumbar, Balah Hilia juga punya potensi SDM yang jamak bersebaran di berbagai wilayah di Nusantara sebagai perantau.
Jadi ada tiga hal tentang Balah Hilia; dunia usaha, pertanian serta potensi perantaunya. Maka syaa coba komunikasikan hal ini kembali pada pihak nagari. Dan, kami akhirnay sepakat bahwa disela iven yang dibuat perlu dilakukan peluncuran logo Balah Hilia. Lengkaplah sudah; logo dan iven yang menjadi icon nagari ini sepanjang waktu.
Usaha ini baru tahap awal. Sementara, branding adalah pekerjaan terus menerus yang tidak ada batas akhir. Selama masih ada objek, selama itu branding diperlukan.
Hari ini orang sudha mulai memikir ulang tentang branding; sesuatu yang sebenarnya sudah sangat lama dilakukan manusia untuk menandai tempat, produk, diri, perusahaan dan lain sebagainya. Kenapa branding saya sebut sebagai sesuatu yang sudah sangat lama? Karena agama-agama , faham-faham, hingga kerajaan-kerajaan kuno telah melakukannya sejak dulu. Contohnya saja Islam, meski ka'bah tak sebetik pun dalam ayat atau hadits disebut sebagai perlambang Islam, tapi tetap saja bila melihat gambar ka'bah (entah foto, siluet, lukisan, ukiran atau logo) orang akan mengingat agama yang diperjuangkan oleh Muhammad SAW ini.
Dalam sebuah brand ada semangat, citra, filosofi dan keunggulan yang terangkum menjadi satu perupaan. Banyak artikel yang mengangkat tentang keberhasilan Nike, Adidas dan berbagai merk dagang besar lainnya dari strategi branding mereka. BRanding seakan menjadi nyawa dari upaya membesarkan sesuatu yang memang potensial untuk dibesarkan.
Pemaknaan branding juga semakin meluas dari waktu ke waktu. Bukan hanya soal perupaan, tapi hari ini mencakup semua upaya untuk membuat orang ingat akan citra. Branding sekarang bukan cuma soal a logo tetapi juga soal iven, landmark, lagu atau apa saja yang mungkin menjadi wadah memaparkan identitas.
Nah, sekarang kita bicara soal nagari. Ditengah hiruk pikuk pembangunan, branding sepertinya menjadi suatu hal yang kerap terlupakan di nagari-nagari di Sumbar. Buktinya, belum banyak nagari yang punya logo sendiri. Belum banyak pula nagari yang menggarap sebuah iven secara serius sebagai sebuah ajang untuk memperkuat iconnya. Jangan tanya apakah sudah ada nagari yang punya hymne dan mars, apalagi landmark yang dapat diingat siapa saja yang lewat.
Sementara, setiap nagari akan terus dituntut untuk memperlihatkan keunggulannya secara lebih mencolok. Ada potensi yang harus ditunjukkan entah untuk tujuan kepariwisataan, pembangunan jejaring ekonomi, investasi dan lain sebagainya. Artinya, branding jadi hal vital yang sebenarnya sudah disadari tapi belum dieksekusi.
Suatu ketika saya dan komunitas Forum Batajau Seni Piaman untuk menyelenggarakan iven di Nagari Balah Hilia Lubuk Alung. Pemerintah Nagari dan para pemuda ketika itu sangat serius untuk menciptakan wahana kebersamaan seluruh masyarakat yang juga dapat menarik perhatian banyak pihak untuk datang ke Balah Hilia. Salah satu penyebabnya adalah karena nagari ini berusia relatif sangat muda. Perlu ada upaya untuk menggerek eksistensi nagari secara serius. Pekerjaan berat memang, tapi sangat menantang.
Keinginan itu awalnya diungkapkan oleh Seknag Hidayat dan Walikorong Jambak Ari. Semangat kedua orang ini membuat pikiran saya terbawa pada suatu pola branding. Saya sadar bahwa sebenarnya kesadaran membranding Balah Hilia sudah ada sejak awal, karena nagari pihak nagari sudah menentapkan penamaan Balah Hilia dikembalikan pada logat asli Piaman, setelah sebelumnya sejak era suharto dinamai Balah Hilir. Penamaan ini "membunuh" kekuatan lokalitas dialek asli. Makanya dengan tanpa disadari, pengembalian nama Balah Hilia ke nama aslinya adalah sebuah strategi branding, karena dialek pada nama adalah pembawaan identitas bahasa suatu daerah.
Membranding Balah Hilia perlu strategi. Saya mulai dari riset tentang apa yang menjadi keunggulan Balah Hilia.Nagari Balah sebenarnya sangat strategis, karena posisinya berada di persimpangan yang menghubungkan Padang, Bukittinggi dan Pariaman Kota. Posisi seperti ini patut menjadi pertimbangan untuk menjadikan Balah Hilia sebagai lokasi berusaha.
Balah Hilia juga punya potensi pertanian dan perikanan yang mencolok berkat ketertataan irigasi dan kebersediaan masyarakat untuk setia pada profesi sebagai petani. Dan seperti juga kawasan lain di Sumbar, Balah Hilia juga punya potensi SDM yang jamak bersebaran di berbagai wilayah di Nusantara sebagai perantau.
Jadi ada tiga hal tentang Balah Hilia; dunia usaha, pertanian serta potensi perantaunya. Maka syaa coba komunikasikan hal ini kembali pada pihak nagari. Dan, kami akhirnay sepakat bahwa disela iven yang dibuat perlu dilakukan peluncuran logo Balah Hilia. Lengkaplah sudah; logo dan iven yang menjadi icon nagari ini sepanjang waktu.
Usaha ini baru tahap awal. Sementara, branding adalah pekerjaan terus menerus yang tidak ada batas akhir. Selama masih ada objek, selama itu branding diperlukan.
Comments
Post a Comment